Pengembangan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah
Pengembangan
Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Strategi Belajar Mengajar
Dosen Pengampu Dr. Suranto M.Pd
Tugas Individu
Oleh:
EUIS SUNDANI
120210302050
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
Prakata
Puji
syukur kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat dan karunai-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah
“Pengembangan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah” yang merupakan salah satu dari komponen nilai tugas individu
mata kuliah StrategiBelajarMengajardalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas jember.
Penyusunan
makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima
kasih kepada:
1.
Drs. Suranto
M.Pd , selaku Dosen pengampu mata kuliah Strategi Belajar Mengajar yang telah
membimbing selama penulis menyelesaikan makalah ini;
2.
Teman-teman
yang telah memberi dorongan dan semangat;
3.
Semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis
juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Jember, Oktober 2014
Penulis
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemampuan
berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan,
pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir
kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak 1942. Penelitian
dan berbagai pendapat tentang hal itu, telah menjadi topik pembicaraan dalam
sepuluh tahun terakhir ini (Patrick, 2000:1).
Dalam
proses pembelajaran, nampaknya belum banyak guru yang menciptakan kondisi dan
situasi yang memungkinkan siswa untuk melakukan proses berpikir kritis. Hal ini
terlihat dari kegiatan guru dan siswa pada saat kegiatan belajar-mengajar. Guru
menjelaskan apa-apa yang telah disiapkan dan memberikan soal latihan yang
bersifat rutin dan prosedural. Siswa hanya mencatat atau menyalin dan cenderung
menghafal rumus-rumus atau aturan-aturan matematika dengan tanpa makna dan
pengertian.
Strategi
yang paling sering dilakukan guru untuk mengaktifkan siswa adalah melibatkan
siswa dalam diskusi dengan seluruh kelas, yaitu dari guru ke siswa dan dari
siswa ke guru. Berdasarkan kondisi kegiatan pembelajaran tersebut, siswa tidak
terlatih berpikir kritis.
Kemampuan
berpikir kritis dan kreatif sangat diperlukan mengingat bahwa dewasa ini ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan memungkinkan siapa saja
bisa memperolah informasi secara cepat dan mudah dengan melimpah dari berbagai
sumber dan tempat manapun di dunia. Hal ini mengakibatkan cepatnya perubahan
tatanan hidup serta perubahan global dalam kehidupan. Jika tidak dibekali
dengan kemampuan berpikir kritis dan kreatif maka tidak akan mampu mengolah
menilai dan megambil informasi yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan
tersebut. Oleh karena itu kemampuan berpikir kritis dan kreatif adalah
merupakan kemampuan yang penting dalam kehidupan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa konsep
dasar berfikir kritis?
2.
Apa sajakah
faktor- faktor yang mempengaruhi berfikir kritis?
3.
Bagaimankah
teori bepikir kritis ?
4.
Bagaimanakah
cara mengambangka berfikir kritis dalam
pembelajaran sejarah?
1.3 Tujuan
1.
Untuk
mengetahui konsep dasar berfikir kritis.
2.
Untuk mengetahui
faktor- faktor yang mempengaruhi berfikir kritis.
3.
Untuk
mengetahui bagaimankah teori bepikir kritis.
4.
Untuk
mengetahui cara mengambangka berfikir
kritis dalam pembelajaran sejarah.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Pengertian Berpikir Kritis
Pengertian
berpikir, di antaranya para ahli ada yang menganggap berpikir sebagai suatu
proses asosiasi saja, ada pula yang memandang berpikir sebagai proses penguatan
hubungan antara stimulus dan respons, ada yang mengemukakan bahwa berpikir itu
merupakan suatu kegiatan psikis untuk mencari hubungan antara dua objek atau
lebih, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa berpikir merupakan kegiatan
kognitif tingkat tinggi (higher level cohnitive), sering pula dikemukakan bahwa
berpikir itu merupakan aktivitas psikis yang intensional.
Berpikir
kritis, dari beberapa ahli memiliki pendapatnya sendiri-sendiritentang
pengertian berpikir kritis, akan tetapi masing-masing komponen berpikir kritis
yang berbeda-beda dari beberapa ahli itu mengandung banyak kesamaan.Krulik dan
Rudnik (1993) mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir yang menguji,
menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi masalah. Termasuk di
dalam berpikir kritis adalah mengelompokkan, mengorganisasikan, mengingat dan
menganalisis informasi. Berpikir kritis memuat kemampuan membaca dengan
pemahaman dan mengidentifikasi materi yang diperlukan dengan yang tidak ada
hubungan. Hal ini juga berarti dapat menggambarkan kesimpulan dengan sempurna
dari data yang diberikan, dapat menentukan ketidakkonsistenan dan kontradiksi
di dalam sekelompok data. Berpikir kritis adalah analitis dan refleksif.
Berpikir
refleksif mempunyai karakteristik menangguhkan keyakinan dan melihat kembali
ketercukupan dari premis-premis yang logis. Seseorang yang berpikir refleksif
mempertimbangkan segala alternatif sebelum mengambil keputusan. Oleh karena itu
orang yang berpikir refleksif tidak menerima sembarang pendapat, namun tidak
berarti selalu menganggap salah terhadap semua pernyataan orang lain. Berpikir
refleksif bertujuan pada apakah meyakini atau melakukan sesuatu.
Penelitian
pendidikan telah mengidentifikasi beberapa keterampilan yang berhubungan dengan
kemampuan berpikir kritis yaitu menemukan analogi dan hubungan lainnya antar informasi,
menentukan relevansi dan validitas informasi yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah, dan menentukan dan mengevaluasi solusi atau cara-cara
alternatif penyelesaian (Pott, 1994). menegaskan hal tersebut, menurut Ennis
(1996) berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk
membuat keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini
atau melakukan sesuatu. Dari definisi Ennis dapat diungkapkan beberapa hal
penting. Berpikir kritis difokuskan kedalam pengertian sesuatu yang penuh
kesadaran dan mengarah pada sebuah tujuan. Tujuan dari berpikir kritis adalah
untuk mempertimbangkan dan mengevaluasi informasi yang pada akhirnya
memungkinkan kita untuk membuat keputusan
Berpikir
kritis berfokus pada apakah meyakini atau melakukan sesuatu mengandung
pengertian bahwa siswa yang berpikir kritis tidak hanya percaya begitu saja apa
yang dijelaskan oleh guru. Siswa berusaha mempertimbangkan penalarannya dan
mencari informasi lain untuk memperoleh kebenaran. Chanche (Huitt, 1998)
seorang ahli psikologi kognitif mendefinisikan berpikir kritis sebagai
kemampuan untuk menganalisis fakta, membangkitkan dan mengatur ide,
mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi
argumen dan memecahkan masalah. Menurut Sukmadinata (2004) berpikir kritis
adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam
menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberikan keyakinan,
menganalisis asumsi, dan pencarian ilmiah.
Berpikir
kritis dari Chenche dan Sukmadinata mempunyai kesamaan yaitu proses mental
untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memecahan masalah. Melalui proses
berpikir dengan kritis seseorang dapat memperoleh informasi dengan benar,
mengevalusinya dan memproses informasi tersebut sehingga diperoleh suatu
kesimpulan yang terpercaya. Swart dan Perkin (Hassoubah, 2004) menyatakan bahwa
berpikir kritis berarti mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya
untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. Dengan
demikian berpikir kritis sebagian besar terdiri dari mengevaluasi argumen atau
informasi dan membuat keputusan yang dapat membantu mengembangkan kepercayaan
dan mengambil tindakan serta membuktikan.
Berpikir
kritis matematis adalah berpikir kritis pada bidang ilmu matematika. Dengan
demikian berpikir matematis adalah proses berpikir kritis yang melibatkan
pengetahuan matematika, penalaran matematika dan pembuktian matematika.
Berpikir kritis dalam matematika merupakan kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan
masalah matematika. Berdasar pada definisi-definisi berpikir kritis yang
dikemukakan para ahli, dalam penelitian ini dikembangkan indikator berpikir
kritis matematis yang diklasifikasikan atas lima komponen berpikir kritis,
yaitu analisis, evaluasi, pembuktian, pemecahan masalah, dan menemukan analogi.
Menurut Ennis dalam
Susilo (2004), ciri-ciri penting siswa yang telah memiliki watak untuk selalu
berpikir kritis adalah sebagai berikut.
1. Mencari pernyataan atau pertanyaan yang
jelas artinya atau maksudnya
2. Mencari dasar atas suatu pernyataan
3. Berusaha untuk memperoleh informasi
terkini
4. Menggunakan dan menyebutkan sumber yang
dapat dipercaya
5. Mempertimbangkan situasi secara menyeluruh
6. Berusaha relevan dengan pokok pembicaraan
7. Berusaha mengingat pertimbangan awal atau
dasar
8. Mencari alternatif-alternatif
9. Bersikap terbuka
10. Mengambil posisi (atau mengubah posisi)
apabila bukti-bukti dan dasar-dasar sudah cukup baginya untuk menentukan
posisinya
11. Mencari ketepatan seteliti-telitinya
12. Berurusan dengan bagian-bagian secara
berurutan hingga mencapai seluruh keseluruhan yang kompleks
13. Menggunakan kemampuan atau ketrampilan
kritisnya sendiri
14. Peka terhadap perasaan, tingkat
pengetahuan dan tingkat kerumitan berpikir orang lain
15. Menggunakan kemampuan berpikir kritis orang
lain
Ennis (Arief Achmad, 2007)
menyebutkan beberapa kriteria yang dapat kita jadikan standar dalam proses
berpikir kritis, yaitu:
a. Clarity (Kejelasan)
Kejelasan
merujuk kepada pertanyaan: "Dapatkah permasalahan yang rumit dirinci
sampai tuntas?"; "Dapatkah dijelaskan permasalahan itu dengan cara
yang lain?"; "Berikanlah ilustrasi dan contoh-contoh!".
Kejelasan merupakan pondasi standardisasi. Jika pernyataan tidak jelas, kita
tidak dapat membedakan apakah sesuatu itu akurat atau relevan. Apabila terdapat
pernyataan yang demikian, maka kita tidak akan dapat berbicara apapun, sebab
kita tidak memahami pernyataan tersebut.
b. Accuracy (keakuratan, ketelitian, kesaksamaan).
Ketelitian atau
kesaksamaan sebuah pernyataan dapat ditelusuri melalui pertanyaan: "Apakah
pernyataan itu kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan?"; "Bagaimana
cara mengecek kebenarannya?"; "Bagaimana menemukan kebenaran tersebut?"
Pernyataan dapat saja jelas, tetapi tidak akurat, seperti dalam penyataan
berikut, "Pada umumnya anjing berbobot lebih dari 300 pon".
c. Precision (ketepatan)
Ketepatan
mengacu kepada perincian data-data pendukung yang sangat mendetail. Pertanyaan
ini dapat dijadikan panduan untuk mengecek ketepatan sebuah pernyataan.
"Apakah pernyataan yang diungkapkan sudah sangat terurai?";
"Apakah pernyataan itu telah cukup spesifik?". Sebuah pernyataan
dapat saja mempunyai kejelasan dan ketelitian, tetapi tidak tepat, misalnya
"Aming sangat berat" (kita tidak mengetahui berapa berat Aming,
apakah satu pon atau 500 pon!)
d. Relevance (relevansi, keterkaitan)
Relevansi
bermakna bahwa pernyataan atau jawaban yang dikemukakan berhubungan dengan
pertanyaan yang diajukan. Penelusuran keterkaitan dapat diungkap dengan
mengajukan pertanyaan berikut: "Bagaimana menghubungkan pernyataan atau
respon dengan pertanyaan?"; "Bagaimana hal yang diungkapkan itu
menunjang permasalahan?". Permasalahan dapat saja jelas, teliti, dan
tepat, tetapi tidak relevan dengan permasalahan. Contohnya: siswa sering
berpikir, usaha apa yang harus dilakukan dalam belajar untuk meningkatkan
kemampuannya. Bagaimana pun usaha tidak dapat mengukur kualitas belajar siswa
dan kapan hal tersebut terjadi, usaha tidak relevan dengan ketepatan mereka
dalam meningkatkan kemampuannya.
e. Depth (kedalaman)
Makna kedalaman
diartikan sebagai jawaban yang dirumuskan tertuju kepada pertanyaan dengan
kompleks, Apakah permasalahan dalam pertanyaan diuraikan sedemikian rupa?
Apakah telah dihubungkan dengan faktor-faktor yang signifikan terhadap
pemecahan masalah? Sebuah pernyatan dapat saja memenuhi persyaratan kejelasan,
ketelitian, ketepatan, relevansi, tetapi jawaban sangat dangkal (kebalikan dari
dalam). Misalnya terdapat ungkapan, "Katakan tidak". Ungkapan
tersebut biasa digunakan para remaja dalam rangka penolakan terhadap
obat-obatan terlarang (narkoba). Pernyataan tersebut cukup jelas, akurat,
tepat, relevan, tetapi sangat dangkal, sebab ungkapan tersebut dapat
ditafsirkan dengan bermacam-macam.
f. Breadth (keluasaan)
Keluasan sebuah
pernyataan dapat ditelusuri dengan pertanyaan berikut ini. Apakah pernyataan
itu telah ditinjau dari berbagai sudut pandang?; Apakah memerlukan tinjauan
atau teori lain dalam merespon pernyataan yang dirumuskan?; Menurut pandangan..;
Seperti apakah pernyataan tersebut menurut... Pernyataan yang diungkapkan dapat
memenuhi persyaratan kejelasan, ketelitian, ketepatan, relevansi, kedalaman,
tetapi tidak cukup luas. Seperti halnya kita mengajukan sebuah pendapat atau
argumen menurut pandangan seseorang tetapi hanya menyinggung salah satu saja
dalam pertanyaan yang diajukan.
g. Logic (logika)
Logika
bertemali dengan hal-hal berikut: Apakah pengertian telah disusun dengan konsep
yang benar?; Apakah pernyataan yang diungkapkan mempunyai tindak lanjutnya?
Bagaimana tindak lanjutnya? Sebelum apa yang dikatakan dan sesudahnya,
bagaimana kedua hal tersebut benar adanya? Ketika kita berpikir, kita akan
dibawa kepada bermacam-macam pemikiran satu sama lain. Ketika kita berpikir
dengan berbagai kombinasi, satu sama lain saling menunjang dan mendukung
perumusan pernyataan dengan benar, maka kita berpikir logis. Ketika berpikir
dengan berbagai kombinasi dan satu sama lain tidak saling mendukung atau
bertolak belakang, maka hal tersebut tidak logis.
2.2 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Berfikir Kritis
Faktor-faktor
yang mempengaruhi berpikir kritis menurut Rath et al (1966) adalah interaksi
antara pengajar dan siswa. Siswa memerlukan suasana akademik yang memberikan
kebebasan dan rasa aman bagi siswa untuk mengekspresikan pendapat dan
keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi berpikir kritis siswa, diantaranya:
a.
Kondisi
fisik:
Menurut Maslow dalam Siti Mariyam (2006:4) kondisi fisik adalah kebutuhan
fisiologi yang paling dasar bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Ketika
kondisi fisik siswa terganggu, sementara ia dihadapkan pada situasi yag
menuntut pemikiran yang matang untuk memecahkan suatu masalah maka kondisi
seperti ini sangat mempengaruhi pikirannya. Ia tidak dapat berkonsentrasi dan
berpikir cepat karena tubuhnya tidak memungkinkan untuk bereaksi terhadap
respon yanga ada.
b.
Motivasi:
Kort (1987)
Mengatakan motivasi merupakan hasil faktor internal dan eksternal.
Motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan ataupun pembangkit
tenaga seseorang agar mau berbuat sesuatu atau memperlihatkan perilaku tertentu
yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menciptakan minat adalah cara yang sangat baik untuk memberi motivasi pada diri
demi mencapai tujuan. Motivasi yang tinggi terlihat dari kemampuan atau
kapasitas atau daya serap dalam belajar, mengambil resiko, menjawab pertanyaan,
menentang kondisi yang tidak mau berubah kearah yang lebih baik, mempergunakan
kesalahan sebagai kesimpulan belajar, semakin cepat memperoleh tujuan dan
kepuasan, mempeerlihatkan tekad diri, sikap kontruktif, memperlihatkan hasrat
dan keingintahuan, serta kesediaan untuk menyetujui hasil perilaku.
c.
Kecemasan:
Keadaan emosional yang ditandai
dengan kegelisahan dan ketakutan terhadap kemungkinan bahaya. Menurut Frued
dalam Riasmini (2000) kecemasan timbul secara otomatis jika individu menerima
stimulus berlebih yang melampaui untuk menanganinya (internal, eksternal).
Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat; a) konstruktif, memotivasi individu
untuk belajar dan mengadakan perubahan terutama perubahan perasaan tidak
nyaman, serta terfokus pada kelangsungan hidup; b) destruktif, menimbulkan
tingkah laku maladaptif dan disfungsi yang menyangkut kecemasan berat atau
panik serta dapat membatasi seseorang dalam berpikir.
d.
Perkembangan
intelektual:
Intelektual atau kecerdasan merupakan kemampuan mental
seseorang untuk merespon dan menyelesaikan suatu persoalan, menghubungkan satu
hal dengan yang lain dan dapat merespon dengan baik setiap stimulus.
Perkembangan intelektual tiap orang berbeda-beda disesuaikan dengan usia dan
tingkah perkembanganya. Menurut Piaget dalam Purwanto (1999) semakin bertambah
umur anak, semakin tampak jelas kecenderungan dalam kematangan proses.
2.3 Teori Berpikir Kritis
Teori
belajar berpikir kritis harus memberatkan pada usaha peserta belajar untuk
aktif menganalisis dan memecahkan berbagai masalah yang ada disekitar mereka
termasuk dalam proses belajar mereka , namun teori tersebut memerlukan
ketrampilan khusus untuk dapat berpikir kritis,dibawah ini beberapa tahap dan ketrampilan
yang harus dikuasai peserta belajar agar dapat berpikir kritis :
a. Keterampilan Menganalisis
Keterampilan menganalisis merupakan suatu keterampilan
menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui
pengorganisasian struktur tersebut (http://www.uwsp/cognitif.htm.). Dalam
keterampilan tersebut tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global
dengan cara menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian
yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki agar pembaca
mengindentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses berpikir
hingga sampai pada sudut kesimpulan (Harjasujana, 1987: 44).
Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan
berpikir analitis, diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi,
menggambarkan, menghubungkan, memerinci, dsb.
b. Keterampilan Mensintesis
Keterampilan mensintesis merupakan keterampilan yang
berlawanan dengan keteramplian menganallsis. Keterampilan mensintesis adalah
keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan
yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua
informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan
ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya.
Pertanyaan sintesis ini memberi kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol
(Harjasujana, 1987: 44).
c. Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah
Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep
kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk
memahami bacaan dengan kritis sehinga setelah kegiatan membaca selesai siswa
mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah
konsep. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan
menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru (Walker,
2001:15).
d. Keterampilan Menyimpulkan
Keterampilan menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran
manusia berdasarkan pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat
beranjak mencapai pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang baru yang lain
(Salam, 1988: 68). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa
keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai
aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah
simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu
: deduksi dan induksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang
memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah
pemikiran atau pengetahuan yang baru.
e. Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai
Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam
menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan
menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur
dengan menggunakan standar tertentu (Harjasujana, 1987: 44).
2.4 Cara Mengambangka Berfikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah
Cara mengambangka berfikir kritis dapat
ditingkatkan melalui latihan. Berikut ini diberikan delapan langkah yang dapat
membantu siswa atau orang yang ingin meningkatkan kemampuannya dalam berpikir
kritis, yaitu: (a) menentukan masalah atau isu nyata, proyek, atau keputusan
yang betul-betul dipertimbangkan untuk dikritisi; (b) menentukan poin-poin yang
menjadi pandangan; (c) memberikan alasan mengapa poin-poin itu dipertimbangkan
untuk dikritisi; (d) membuat asumsi-asumsi yang diperlukan; (e) bahasa yang
digunakan harus jelas; (f) membuat alasan yang mendasari dalam fakta-fakta yang
meyakinkan; (g) mengajukan kesimpulan; dan (h) menentukan implikasi dari
kesimpulan tersebut. Hal ini dapat dilakukan pula dalam pengembangan berpikir
kritis dalam pembelajaran sejarah.
Lebih lanjut dijelaskan
karakteristik dari berpikir kritis menurut Wade dalam Setiawan (2005) adalah
menjawab pertanyaan, merumuskan masalah, meneliti fakta-fakta, menganalisis asumsi
dan kesalahan, menghindari alasan-alasan yang emasional, menghindari
penyederhanaan yang berlebihan, memikirkan intepretasi lain, dan mentoleransi
arti ganda. Kemampuan berpikir terutama kemampuan berpikir kritis dan kreatif
sangat diperlukan dalam mengajarkan pemecahan masalah pada siswa, karena salah
satu indikasi adanya transfer belajar adalah kemampuan menggunakan informasi
dan ketrampilan dalam memecahkan masalah. Melalui pemecahan masalah-masalah itu
siswa dilatih berpikir kritis melalui latihan. Kesulitan yang umumnya ditemukan
pada siswa dalam memecahkan masalah adalah dalam hal memperjelas masalah atau
merumuskan masalah yang akan dipecahkan (Slavin, 1997).
Pada pembelajaran sejarah
dapat pula menggunakan pembelajaran kolaboratif untuk mengembangkan berpikir
kritis. Pembelajaran kolaboratif melalui diskusi kelompok kecil juga
direkomendasikan sebagai strategi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis (Resnick L., 1990; Rimiene V., 2002; Gokhale A.A., 2005). Dengan
berdiskusi siswa mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi pemahamannya dan
mengevaluasi pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang
lain untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk membangun
pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan seperti
menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan cara yang santun.
Menurut Sudjna (1990:15)
dalam proses pembelajaran intinya terletak pada kegiatan belajar para peserta
didik. Tinggi rendahnya kadar kegiatan belajar banyak dipengaruhi oleh metode
pembelajaran yang digunakan guru. Oleh sebab itu pembelajaran yang baik
hendaknya lebih banyak melibatkan peserta didik untuk aktif dalam kegiatan
belajar. Sehingga orientasi penilaian pembelajaran tidak hanya menekankan pada
hasil belajar berupa tes tertulis saja namun juga penilaian proses yaitu
aktivitas kegiatan siswa. Berdasarkan hal tersebut guru diarapkan dapat
menggunakan metode yang tepat dalam pembelajaran.
Pada
materi pelatihan guru implementasi kurikulum 2013 tahun 2014 mata pelajaran
sejarah merekomendasikan tiga model pembelajaran utama, yakni model
pembelajaran berbasis masalah, problem based learning (PBL), model pembelajaran
berbasis proyek dan model pembelajaran discaveri . namun secara kreatif masih
bisa mengembangkan model-model pembelajaran yang sudah pernah dilakukan secara
jicsaw, STAD (Student Team Achievement Divison), TGT, ACC, model kuis dan
lain-lain kurikulum. Metode pembelajaran yang telah disebutkan itu dapat juga
mengmbangkan bepikir kritis dalam pembelajaran sejarah, agar pembelajaran
sejarah yang biasanya membosankan menjadi lebih menyenangkan sehingga siswa
menjadi berkembang dalam berpikir kritisnya.
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
Berpikir
kritis, dari beberapa ahli memiliki pendapatnya sendiri-sendiri tentang
pengertian berpikir kritis, akan tetapi masing-masing komponen berpikir kritis
yang berbeda-beda dari beberapa ahli itu mengandung banyak kesamaan. Krulik dan
Rudnik (1993) mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir yang menguji,
menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi masalah. Termasuk di
dalam berpikir kritis adalah mengelompokkan, mengorganisasikan, mengingat dan
menganalisis informasi. Berpikir kritis memuat kemampuan membaca dengan
pemahaman dan mengidentifikasi materi yang diperlukan dengan yang tidak ada
hubungan.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi berpikir kritis menurut Rath et al (1966) adalah interaksi
antara pengajar dan siswa. Siswa memerlukan suasana akademik yang memberikan
kebebasan dan rasa aman bagi siswa untuk mengekspresikan pendapat dan
keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi berpikir kritis siswa, diantaranya : kondisi
fisik,motivasi, kecemasan dan perkembangan intelektual. Teori belajar berpikir
kritis harus memberatkan pada usaha peserta belajar untuk aktif menganalisis
dan memecahkan berbagai masalah yang ada disekitar mereka termasuk dalam proses
belajar mereka, namun teori tersebut memerlukan ketrampilan khusus untuk dapat
berpikir kritis.
Cara mengambangka berfikir kritis dapat
ditingkatkan melalui latihan. Berikut ini diberikan delapan langkah yang dapat
membantu siswa atau orang yang ingin meningkatkan kemampuannya dalam berpikir
kritis, yaitu: (a) menentukan masalah atau isu nyata, proyek, atau keputusan
yang betul-betul dipertimbangkan untuk dikritisi; (b) menentukan poin-poin yang
menjadi pandangan; (c) memberikan alasan mengapa poin-poin itu dipertimbangkan
untuk dikritisi; (d) membuat asumsi-asumsi yang diperlukan; (e) bahasa yang
digunakan harus jelas; (f) membuat alasan yang mendasari dalam fakta-fakta yang
meyakinkan; (g) mengajukan kesimpulan; dan (h) menentukan implikasi dari
kesimpulan tersebut. Hal ini dapat dilakukan pula dalam pengembangan berpikir
kritis dalam pembelajaran sejarah.
Daftar Pustaka
2012. Tersedia di http//;Teori
Belajar Berpikir Kritis.htm (diakses tanggal 5 Oktober 2014)
2012. Tersedia di :http//; /Kemampuan Berpikir Kritis Wong Kapetakan's Blog.htm (diakses
tanggal 5 oktober 2014)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda